Rabu, 30 Mei 2012

Afiq Rakhmat Alwi

PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA IPTEK DI PERGURUAN TINGGI

MELALUI  PROSES  BELAJAR MENGAJAR, TERJEMAHAN DAN PEMBENTUKAN  ISTILAH  KEILMUAN

 

Oleh Drs. Bambang Eko Hari Cahyono

FPBS IKIP PGRI Madiun




A.    PENDAHULUAN

     Industrialisasi, dengan sadar  telah terlanjur dipilih sebagai jalan hidup dalam pembangunan Indonesia. Menjadi negara industri adalah obsesi yang mesti dipenuhi, guna mengambil posisi yang sejajar dengan negara-negara maju atau negara “cepat”.
     Bahkan ketika globalisasi demikian mencengkeram, baik sebagai konsepsi maupun sebagai realitas, harapan untuk tidak menjadi negara “lambat” adalah kebutuhan yang sangat mendesak. Masalahnya jelas, Indonesia ingin memiliki posisi
tawar menawar yang cukup kuat dalam politik, ekonomi, teknologi dan informasi, dan kebudayaan secara umum di tengah konstelasi kesalingbergantungan global antarbangsa dan antarberbagai kepentingan yang sering melampaui batas-batas negara.
     Era industrialisasi yang tengah dimulai tentu saja membutuhkan struktur dan kerangka sistem yang kuat. Untuk itu, perguruan tinggi sebagai tempat untuk mengkaji berbagai sumber ilmu pengetahuan dan teknologi diberi tempat yang strategis dalam rangka era industrialisasi itu.
     Apabila mau bersikap jujur, maka harus diakui bahwa kalangan pendidikan tinggi di Indonesia masih berorientasi pada sekedar menghasilkan lulusan dan belum memikirkan apakah lulusan yang dihasilkan itu sesuai dengan kebutuhan nyata dunia iptek. Hal ini tampak dari betapa bingungnya mereka yang baru lulus dari pendidikan tinggi ketika memasuki dunia pekerjaannya. Mereka sering tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana menunjukkan sikap intelektual yang professional.
     Program keterkaitan dan kesepadanan yang telah lama dicanangkan pemerintah tampaknya kurang atau belum memperoleh respon dari kalangan pendidikan tinggi. Hal ini tampak dari sikap “menunggu dan melihat” dari kalangan pendidikan tinggi di Indonesia. Kecepatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan keluasan jangkauannya kurang diantisipasi oleh dunia pendidikan tinggi, sehingga mereka selalu ketinggalan dengan perkembangan iptek.
     Sering didengar keluhan masyarakat tentang rendahnya mutu keluaran (output) pendidikan tinggi di Indonesia, baik yang menyangkut kualitas keilmuannya maupun kemampuannya dalam mengekspresikan ide/ gagasan intelektualnya. Mungkin saja mereka banyak memiliki ide brilian, namun kemampuannya untuk transfer ide tersebut dinilai sangat tumpul. Akibatnya, selama ini mereka cenderung hanya berperan sebagai konsumen iptek dan tidak bisa berbuat banyak sebagai pencetus atau produsen ide.
     Menurut pengamatan penulis, kekurangmampuan dalam ekspresi ide tersebut setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, kualitas ekspresi ide mereka memang sangat lemah, dan yang kedua mungkin disebabkan oleh faktor sarana ekspresi (bahasa) yang kurang dapat mewadahi pemikiran dan perkembangan iptek. Sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia memang berkembang dengan pesat. Namun apabila diselaraskan dengan perkembangan iptek, bahasa Indonesia masih tertinggal “satu langkah” meskipun upaya untuk menyejajarkan keduanya telah banyak dilakukan.
     Masalah pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia adalah masalah nasional yang tidak dapat dipisahkan dari masalah-masalah nasional lainnya. Sebab itu, sudah menjadi kewajiban setiap warga negara Indonesia untuk selalu membantu dan mendorong kehidupan bahasa Indonesia dengan penuh tanggung jawab. Hal ini diharapkan agar di kemudian hari bahasa Indonesdia mampu menjadi bahasa yang benar-benar modern dan relevan dengan laju perkembangan iptek.
     Dalam konteks pemikiran itu, lembaga pendidikan dipandang sebagai sarana yang efektif untuk mengembangkan bahasa Indonesia keilmuan. Hal ini dimungkinkan karena antara pendidikan dan bahasa merupakan dua hal yang sangat berkaitan dan saling mengisi. Saling ketergantungan ini berarti bahwa pendidikan tidak dapat berlangsung tanpa bahasa, sebab bahasa adalah alat utama dalam pendidikan. Sebaliknya, bahasa sulit berkembang dan terbina dengan baik tanpa ditunjang oleh pendidikan, karena kenyataannya dunia pendidikan banyak menyumbangkan perannya bagi pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
     Menyadari akan arti penting pendidikan sebagai sarana pengembangan bahasa Indonesia keilmuan, maka sudah sewajarnya apabila segera dirumuskan strategi pengembangan dalam bentuk perencanaan program yang efektif dan efisien. Untuk itu, dalam makalah ini penulis mencoba mengajukan alternatif strategi pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi. Meskipun tidak secara lengkap, penulis akan melengkapi pula pembahasan itu dengan analisis terhadap kendala-kendala yang muncul terhadap program pengembangan yang dimaksud.

B.     PEMBAHASAN

1.                              Bahasa Indonesia Iptek (Keilmuan)
Seorang pekerja ilmiah yang harus melaporkan hasil temuannya dalam suatu cabang ilmu akan menghadapi beberapa masalah. Masalah yang utama adalah bagaimana konsep-konsep yang diperoleh dari penyeledikan dan kajian keilmuannya itu harus diungkapkan dan bagaimana ekspresi keilmuan itu harus dirangkai-rangkaikan dalam bahasa Indonesia. Persoalan ini sebenarnya persoalan yang universal, tidak hanya  dihadapi oleh orang Indonesia yang berbahasa Indonesia, namun juga dihadapi oleh bangsa lain yang sudah maju bahasanya.
Sebagai sarana berpikir ilmiah dan sarana komunikasi ilmiah, seorang ilmuwan harus menggunakan bahasa keilmuan. Jujun S. Suriasumantri (1995: 183-185) memberikan cirri-ciri bahasa keilmuan yang dapat mewadahi perkembangan iptek, yaitu: (1) bersifat reproduktif, (2) langsung ke sasaran (straitforward), (3) gaya berbahasa lugas, (4) tidak bersifat emotif, (5) tidak bersifat afektif, (6) menggunakan istilah keilmuan yang sah berdasarkan bidang ilmunya, dan (7) menggunakan penalaran yang logis dan runtut.
Sifat reproduktif menyebabkan uraian tidak bermakna ganda dan tidak menimbulkan salah penafsiran. Yang dikemukakan adalah isi ilmuanya dan bukan keelokan bahasanya (seperti dalam karya sastra). Karena itu, penulis karya keilmuan harus berusaha berbahasa sejelas dan sesederhana mungkin.
Sifat langsung ke sasaran harus diusahakan oleh penulis karya iptek. Penulis harus menyadari bahwa setelah dibaca orang lain, tulisannya sering sulit dipahami maknanya. Karena itu, penulis harus mampu menyatakan apa yang seharusnya dinyatakan. Tidak dibenarkan menyatakan sesuatu dengan berputar-putar atau memberikan sindiran. Menguraikan sesuatu dengan sindiran dan uraian berkepanjangan menyalahi kaidah komunikasi keilmuan.
Kedua cirri tersebut berkaitan dengan cirri ketiga, yakni bergaya bahasa lugas. Pemakaian gaya bahasa dan keindahan bahasa diusahakan sekecil mungkin karena dapat menimbulkan kesan kurang serius dan dapat menimbulkan makna ganda. Karena itu, sering dijumpai komunikasi ilmiah dengan bahasa “kering” (tidak indah seperti dalam karya sastra). Seorang pembaca naskah iptek sudah barang tentu telah siap menghadapi gaya berbahasa demikian.
Sifat emotif dan afektif sering dijumpai dalam penggunaan bahasa melalui komunikasi tidak resmi (santai dan akrab). Kedua sifat itu harus dihindari, karena bahasa iptek harus bersifat lebih rasional dan menunjukkan pemikiran apa adanya (das sein). Tulisan emotif dan afektif menimbulkan kesan ketidakpastian, sehingga karya iptek menjadi tidak meyakinkan pembacanya.
Istilah-istilah bidang keilmuan tertentu memiliki karakteristik tersendiri dalam hal pembakuan aspek semantiknya. Seorang ilmuwan yang memasuki bidang ilmu tertentu akan memahami istilah keilmuan bidang ilmunya itu dan sanggup menggunakannya dalam komunikasi ilmiah sesuai dengan makna yang diacunya. Ini merupakan salah satu bukti kekayaan keilmuwanan yang dimilikinya.
Komunikasi iptek juga mensyaratkan penerapan logika yang mapan dalam berbahasa. Karya ilmiah dalam komunikasi iptek harus menunjukkan alur pemikiran mengikuti logika tertentu yang dipilih seorang penulis.  Penulisannya harus menggunakan epistemologi keilmuan dan tidak sebebas seperti dalam komunikasi lainnya.
Johanes (dalam Herman J. Waluyo, 1991:5) mengemukakan 8 syarat gaya pengungkapan tulisan sebagai komunikasi iptek, yaitu: (1) nada tulisan iptek/keilmuan bersifat formal dan objektif, (2) titikpandang baku (grammatical point of view) dan harus taat azas, (3) tingkat bahasa yang dipakai dalam tulisan iptek adalah tingkat bahasa resmi dan bukan bahasa harian (colloquial), (4) bentuk wacana paparan (exposition) lebih banyak dipakai daripada bentuk argumentasi, deskripsi, dan narasi, (5) komunikasi gagasan dalam karya iptek harus jelas, lengkap, dan ringkas, serta dapat meyakinkan secara tepat, (6) sejauh mungkin dihindari istilah ekstrem, berlebihan, dan haru (emosional), (7) menghindari kata-kata mubazir, dan (8) bahasa keilmuan lebih berkomunikasi dengan pikiran daripada dengan perasaan.
Di samping itu, sebagai bahasa iptek bahasa Indonesia juga harus dapat menjalankan 4 fungsi bahasa iptek, yaitu: (1) fungsi referensial, (2) fungsi direktif, (3) fungsi metalingual, dan (4) fungsi fatis (Zuchridin Suryawinata, 1995: 64-73).
Menurut Anton M. Moeliono (1991:114-126; 1993:6-7), pengembangan bahasa Indonesia agar menjadi bahasa yang modern, dalam arti dapat mewadahi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta relevan dengan perkembangan peradaban dunia, harus bertopang pada 3 kegiatan, yaitu: (1) pengembangan kecendekiaan bahasa, (2) pemekaran kosa kata, dan (3) pengembangan laras bahasa.
2.                              Strategi Pengembangan Bahasa Indonesia Iptek di Pertguruan Tinggi
Untuk mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa iptek, sedikitnya terdapat tiga modal dasar yang secara politis dapat dipergunakan sebagai landasan pengembangan.
Pertama, Sumpah Pemuda 1928 yang berisi pengakuan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, merupakan langkah pertama yang menentukan dalam menentukan garis kebijaksanaan mengenai bahasa nasional Indonesia. Kedua, UUD 1945 Bab VI Pasal 36 yang menyatakan “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia.” Hal ini memberikan dasar yang kuat dan resmi bagi pemakaian bahasa Indonesia bukan saja sebagai bahasa perhubungan pada tingkat nasional, tetapi juga sebagai bahasa kenegaraan. Ketiga, perwujudan Politik Bahasa Nasional yang menyatakan mengenai dua fungsi bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara.
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang kebulatan semangat kebangsaan Indonesia, alat penyatuan berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya ke dalam satu masyarakat nasional Indonesia. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, serta sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi (Amran Halim, 1989:15-17).
Salah satu dasar tersebut memberikan kerangka yang kuat bagi pengembangan bahasa Indonesia sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui jalur pendidikan.
Menurut S. Effendi (dalam Amran Halim, 1984:17), dalam proses pengembangan bahasa Indonesia terdapat beberapa komponen yang saling berinteraksi, yaitu: (1) komponen bahasa yang akan dikembangkan, yang di dalamnya meliputi segi fonologi, tatabahasa, dan leksikon; (2) komponen proses pengembangan, yang menyangkut sasaran pengarahan proses; (3) komponen hasil pengembangan, yang mengacu pada hasil proses pengembangan yang dilakukan; (4) komponen instrumen pengembangan, yang meliputi tenaga pengembangan, rencana induk pengembangan, manajemen pengembangan, fasilitas dana, dan peralatan; dan (5) komponen lingkungan pengembangan, yang meliputi lingkungan sosial budaya, politik, dan pendidikan. Ancangan program tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut.





















Keterangan:

DIK     = pendidikan                           BN      = bahasa nasional
RI        = rencana induk                      BM      = bahasa modern
T          = tenaga                                  SB       = seni budaya
M         = manajemen                           EK       = ekonomi
S          = sarana                                   POL    = politik

Bagan tersebut menunjukkan bahwa sektor pendidikan dipilih sebagai lingkungan pengembangan bahasa Indonesia iptek yang sejajar dengan lingkungan yang lain (seni budaya, ekonomi, politik). Dalam perspektif ini, lingkungan pendidikan tinggi dipandang sebagai ujung tombak bagi pengembangan program yang dimaksud, sebab jenjang pendidikan tinggi dipandang memiliki porsi yang lebih luas bagi pengembangan, penerapan, dan rekayasa iptek.
Pola yang dipandang tepat untuk mengembangkan bahasa Indonesia iptek yaitu dengan menggunakan prinsip integral, terpadu, dan kontinu. Prinsip integral mengacu pada pengertian bahwa semua disiplin ilmu yang dikaji di perguruan tinggi, termasuk jajaran sivitas akademikanya, harus secara integral dapat menyatukan langkah dalam mendukung program pengembangan bahasa Indonesia iptek.
Program pengembangan bahasa Indonesia iptek bukanlah program yang berdiri sendiri. Program ini harus merupakan satu kesatuan yang padu dengan program-program akademik lainnya dan merupakan bagian yang takterpisahkan dari rencana induk pengembangan perguruan tinggi dalam bidang nonfisik. Inilah yang dimaksud dengan prinsip terpadu.
Sedangkan prinsip kontinu berhubungan dengan masalah kontinuitas pelaksanaan program yang telah direncanakan. Meskipun terikat oleh alokasi waktu, program yang disusun diusahakan selalu berkesinambungan dan selalu ditingkatkan dalam hal kuantitas dan kualitasnya.
Perwujudan ketiga prinsip tersebut akan terlaksana dengan baik apabila didukung oleh tiga hal, yaitu: perencanaan program yang baik, pelaksanaan program yang mantap, dan pelaksana program yang berintegritas dan berkualitas. Sudah barang tentu faktor lingkungan dan fasilitas (termasuk fasilitas dana) juga sangat menentukan. Lingkungan yang kurang kondusif bagi pengembangan bahasa Indonesia iptek dan terbatasnya sarana yang tersedia akan menjadi penghambat pencapaian hasil yang diharapkan.
Berdasarkan kondisi umum yang ada pada sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia, program pengembangan bahasa Indonesia iptek dapat dilakukan melalui berbagai sarana, di antaranya melalui proses belajar mengajar, penerjemahan dan pembentukan istilah bidang keilmuan (iptek), media penerbitan kampus seperti jurnal dan bulletin ilmiah, kegiatan-kegiatan ilmiah semacam seminar, lokakarya, penataran, melalui lomba penulisan iptek, dan kegiatan-kegiatan khusus lainnya.
Mengenai pelaksana program, dapat dibentuk sebuah panitia pelaksana atau sebuah tim yang terdiri atas para dosen, karyawan, mungkin pula mahasiswa, dan pihak-pihak terkait lainnya. Penentuan anggota tim semata-mata didasarkan pada aspek kualitas, integritas, dan komitmennya terhadap program pengembangan bahasa Indonesia iptek.
Seluruh program tersebut akan dievaluasi secara periodic dalam kurun waktu tertentu. Evaluasi program ini dimaksudkan untuk menilai sejauh mana program yang direncanakan telah dilaksanakan, dan dapat pula dipergunakan untuk mendiagnosis hambatan-hambatan yang muncul dalam proses pelaksanaannya.
Strategi pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi tersebut dapat dilihat lebih jelas pada bagan berkut ini.









 























      Berikut ini akan penulis uraikan sarana-sarana penting yang dapat dipergunakan sebagai perwujudan strategi pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi.
a.      Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi
Kecuali dalam pengajaran bahasa asing dan bahasa daerah pada program studi-program studi tertentu, bahasa Indonesia dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Hal  ini berarti bahwa semua materi mata kuliah, apapun jenisnya, harus disampaikan dalam bahasa Indonesia. Ini satu fakta yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang paling penting dalam pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi.
Dalam menyampaikan materi keilmuan kepada para mahasiswa, para dosen sering menggunakan istilah-istilah dan ungkapan-ungkapan khusus bidang keilmuannya. Dalam konteks ini, para dosen harus mampu dan bersedia mengungkapkannya dengan menggunakan bahasa Indonesia, jika istilah-istilah itu telah dibakukan penggunaannya.
Para dosen ini adalah pelaksana program yang penting. Sebagai pihak yang berada pada jajaran paling depan, tidaklah berlebihan jika keberhasilan pelaksanaan program lebih banyak ditumpukan pada kerja dan komitmen mereka. Untuk itu, pemantapan kualitas penguasaan bahasa Indonesia keilmuan dan sikap yang positif terhadap pengembangan bahasa Indonesia iptek harus ditanamkan sejak dini kepada para dosen tersebut.
Hubungan antara bahasa Indonesia keilmuan dan mata kuliah yang diberikan kepada mahasiswa dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi sangatlah erat. Mata kuliah apapun disampaikan oleh dosen dalam bahasa Indonesia. Mahasiswa dapat menangkap isi mata kuliah yang diberikan dosen karena mereka mengerti bahasa Indonesia. Buku-buku yang dipakai untuk semua mata kuliah itu sebagian besar ditulis pula dalam bahasa Indonesia keilmuan.
Walaupun semua mata kuliah itu dapat menyumbang secara nyata kepada pengembangan bahasa Indonesia para mahasiswa, harus diingat bahwa fungsi utama berbagai mata kuliah nonbahasa itu adalah menyampaikan materi (isi) setiap mata kuliah. Akan tetapi, isi mata kuliah itu tidak dapat disampaikan dan tidak dapat diterima tanpa bahasa. Dengan demikian, setiap mata kuliah masih memberikan tekanan pada bidangnya masing-masing sebagaimana mestinya, tetapi kerja sama antara keduanya membuat para mahasiswa menjadi yakin terhadap pentingnya fungsi bahasa Indonesia keilmuan bagi kelangsungan studi mereka. Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung, akan memotivasi mereka untuk mengembangkan bahasa Indonesia keilmuannya menjadi lebih baik. Penemuan psikolinguistik menunjukkan bahwa motivasi dan perhatian merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi keberhasilan pengembangan bahasa Indonesia. Sebab itu, motivasi dan minat ini perlu dibina terus-menerus.
Dalam proporsi yang lebih khusus, program pengembangan bahasa Indonesia iptek juga dapat dilaksanakan melalui pengajaran mata kuliah Bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) di perguruan tinggi. Meskipun dalam praktik tidak semua perguruan tinggi memberikan mata kuliah Bahasa Indonesia, mata kuliah ini dipandang sangat baik sebagai sarana pengembangan dan pengkajian bahasa Indonesia iptek. Dalam pelaksanaannya, materi yang disampaikan hendaknya disesuaikan dengan bidang keilmuan yang sedang ditekuni para mahasiswa. Untuk mahasiswa teknik diajarkan bahasa Indonesia teknik, mahasiswa ekonomi diajarkan bahasa Indonesia ekonomi, begitu pula untuk mahasiswa matematika, pertanian, kedokteran, dan sebagainya. Jadi ada spesifikasi khusus yang mengacu pada bidang keilmuan tertentu, tanpa mengesampingkan konvensi-konvensi kebahasaan secara umum.
Materi MKDU Bahasa Indonesia yang monoton dan membosankan harus secepatnya ditinggalkan dan diganti dengan materi-materi yang relevan. Kecenderungan para pengajar MKDU Bahasa Indonesia yang hanya menekankan pada masalah penguasaan ejaan, tatabahasa, dan pengetahuan kebahasaan lainnya harus segera ditinjau ulang dan disempurnakan.
Satu hal yang harus diperhatikan, terlepas dari pola dan materi apa yang dipakai oleh dosen di perguruan tinggi, rencana/program mata kuliah Bahasa Indonesia tidak boleh menyimpang dari aspek pokok pengajaran bahasa Indonesia secara umum. Menurut Jazir Burhan (1981:7-9), pengajaran bahasa Indonesia, kepada siapapun dan dilaksanakan pada jenjang apapun, harus meliputi 3 aspek pokok, yaitu (1) aspek humanistik, (2) aspek politik, dan (3) aspek kultural.
Aspek humanistik adalah aspek yang berhubungan dengan masalah manusia pada umumnya. Dalam hubungan ini, masalahnya adalah masalah fungsi bahasa pada umumnya bagi manusia. Fungsi bahasa pada manusia adalah sebagai alat untuk menyatakan pikiran dan perasaan, alat untuk memahami peradaban dan kebudayaan bangsa, dan alat berpikir dan berbuat dalam usaha manusia mempertinggi taraf kebudayaannya.
Aspek politik adalah aspek yang berhubungan dengan cita-cita politik bangsa Indonesia. Aspek ini digambarkan sebagai keinsyafan setiap warga negara untuk memelihara, mengembangkan, dan menghargai dengan setinggi-tingginya akan keberadaan bahasa nasionalnya.
Sedangkan aspek kultural adalah aspek yang berhubungan dengan kebudayaan, dalam hal ini adalah kebudayaan nasional Indonesia. Dalam konteks ini, aspek itu terwujud dalam keyakinan para mahasiswa akan pentingnya penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebudayaan dan bahasa ilmu pengetahuan.
Pengembangan bahasa Indonesia iptek dapat pula dilaksanakan melalui Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP/FKIP atau Fakultas Sastra di universitas. Meskipun tidak semua perguruan tinggi memiliki program studi atau fakultas itu, pemanfaatan program studi atau fakultas tersebut dipandang sangat efektif. Sesuai dengan bidang ilmunya yang relevan, program studi atau fakultas ini harus dapat menjadi pelopor pengembangan bahasa Indonesia iptek. Selain melalui proses belajar mengajar yang rutin, program yang dilaksanakan dapat pula dilakukan melalui penelitian, ceramah/seminar, penerbitan istilah keilmuan, jurnal-jurnal kebahasaan yang diterbitkan program studi, dan sebagainya.
Anton M. Moeliono (1989:80) menyatakan bahwa masalah pembinaan bahasa Indonesia di universitas baru dapat ditangani dan diatasi jika pengajaran bahasa Indonesia pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia sudah disempurnakan. Pengajaran yang dimaksud juga harus didukung adanya kurikulum yang menarik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat/pembangunan
b.      Penerjemahan dan Pembentukan Istilah Keilmuan
Kosa kata keilmuan bahasa Indonesia nyatanya masih kurang memadai. Karena itu, masih terus-menerus diusahakan pemekaran kosa kata dalam berbagai disiplin ilmu, dan pemekaran kosa kata ini harus selalu berpijak pada kaidah-kaidah keilmuan secara internasional. Karena ilmu bersifat universal, maka kosa kata yang digunakan tidak boleh melanggar konvensi internasional dalam bidang keilmuan yang bersifat universal tersebut.
Kosa kata (istilah) fisika, kimia, biologi, matematika, teknik, kedokteran, kosmetika, dan sebagainya, sebagian besar masih dikemukakan dalam bahasa asing. Usaha pengindonesiaan istilah-istilah tersebut terus dilakukan, meskipun hambatannya tidak kecil. Misalnya, betapa sulitnya menerjemahkan istilah-istilah keilmuan berikut ini: absorbsi, pendaflor, polarisasi, magnetoresistance, relativitas, kinematis, ionosfir, helisitas (fisika); oksiser, ornitofili, nanofil, klon, hapaksantik, diasitik, stonium (biologi); nuklida, ekstrusi, alastomer, difraksi, diazotisasi, bromin, bitumen (kimia); liabilitas, liposstatik, defoliasi, disinfestan, diostikia, mulsa (peternakan); dan sebagainya.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa dalam bidang-bidang keilmuanj tertentu, penerjemahan tidak selalu mudah dan sederhana. Menurut Anton M. Moeliono (1989:195), usaha penerjemahan itu pada hakikatnya mengandung makna memproduksi amanat atau pesan di dalam bahasa sumber dengan padanan yang paling wajar dan paling dekat di dalam bahasa penerima, baik dari aspek arti maupun dari aspek langgam atau gaya.
Penerjemahan itu pertama-tama harus bertujuan membahasakan kembali isi amanat atau pesan. Idealnya, terjemahan tidak akan atau sebaiknya tidak dirasakan sebagai terjemahan. Namun untuk memproduksi amanat itu janganlah berakibat timbulnya berbagai struktur yang tidak lazim di dalam bahasa penerima.
Wonderly (1968:50) membedakan dua macam penerjemahan, yaitu penerjemahan formal dan penerjemahan dinamis. Penerjemahan dinamis pertama-tama berusaha untuk menyampaikan isi amanat dalam bahasa sumber dengan ungkapan-ungkapan yang lazim dalam bahasa terjemahan. Penerjemahan dinamis ini dipandang lebih baik dibandingkan dengan penerjemahan formal.
Terjemahan karya iptek dalam bahasa Indonesia banyak yang tidak memuaskan, karena para penerjemah tidak terlaltih dalam ilmu penerjemahan. Hal ini yang harus diantisipasi sejak dini oleh kalangan perguruan tinggi. Memang tidak ada terjemahan yang dapat mengalihkan secara menyeluruh isi dan bentuk suatu teks dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Terjemahan 100% itu tidak mungkin.
Walaupun jauh dari ideal, menyadari pentingnya penyediaan terjemahan bagi pengembangan bahasa Indonesia iptek, para pakar dapat menerima padanan yang cukup mendekati teks aslinya sebagai terjemahan yang memadai. Tekanannya adalah pada “padanan yang wajar dan terdekat” (closest natural equivalent).  Penerjemahan harus berusaha mengalihkan makna, bukan bentuk leksikogramatikal bahasa sumbernya (Daud H. Soesilo, 1990:186).
Selama ini pembentukan istilah di negeri ini dilakukan oleh Komisi Pembentukan Istilah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Dalam rangka pembentukan istilah keilmuan, perguruan tinggi seharusnya mengambil peran yang lebih besar dibandingkan kondisi yang ada sekarang ini. Hal ini dimungkinkan karena di perguruan tinggi istilah-istilah keilmuan lebih banyak ditemukan dan dipergunakan. Kalangan perguruan tinggi yang selama ini hanya bertindak sebagai konsumen harus secepatnya ditinggalkan. Perguruan tinggi harus mampu menyumbangkan perannya sebagai “produsen” istilah-istilah keilmuan dari disiplin ilmu yang beragam.
Bentuk yang lebih konkret, baik melalui penerjemahan maupun melalui pemekaran kosa kata, dapat dilakukan kalangan perguruan tinggi dengan jalan menyusun daftar (senarai) istilah-istilah keilmuan dalam berbagai bidang, misalnya istilah khusus matematika, biologi, fifika, kedokteran, pertanian, teknik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Sudah barang tentu langkah kerja yang demikian itu harus tetap dalam koordinasi dengan Komisi Pembentukan Istilah.
Anton M. Moeliono (1993:6) menyatakan bahwa pengembangan peristilahan bahasa Indonesia iptek sepatutnya dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: (1) klasifikasi ilmu, (2) taksonomi cabang ilmu, (3) penentuan kelompok sasaran’ (4) penentuan cakupan kumpulan istilah, (5) perumusan definisi dan penetapan istilah padanan, (6) penyelarasan definisi dan istilah padanan, dan (7) penerbitan daftar istilah dan kamus cabang ilmu. Langkah-langkah semacam itu kiranya tepat  dilaksanakan oleh perguruan tinggi dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia iptek.
c.       Kegiatan-Kegiatan Lain
Strategi lain yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi adalah dengan memanfaatkan kegiatan-kegiatan dan sarana yang beraneka ragam. Sarana yang mungkin dapat dipergunakan misalnya melalui penataran/ ceramah/ seminar, lomba penulisan karya ilmiah, penerbitan artikel-artikel tentang bahasa Indonesia iptek pada jurnal-jurnal atau buletin-buletin yang ada, dan sebagainya. Meskipun tidak dikhususkan sebagai sarana pengembangan bahasa Indonesia iptek, sarana-sarana tersebut dipandang sangat efektif dan efisien dalam mengemban misi itu.
3.      Kendala-Kendala Pengembangan Bahasa Indonesia Iptek di Perguruan  Tinggi
Menurut Garvin dan Mathiot (dalam Suwito, 1991:91), sikap positif terhadap bahasa  ditandai dengan: (1) bangga akan bahasa yang dipergunakan, (2) setia kepada bahasa, dan (3) sadar akan penggunaan kaidah bahasa. Kenyataannya, sikap-sikap positif tersebut sampai sekarang belum tertanam dengan baik pada sivitas akademika di perguruan tinggi. Kendala semacam ini merupakan faktor penghambat yang besar bagi pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi. Tidak jarang di antara mereka yang cenderung bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia, misalnya: (1) menganggap bahasa Indonesia sebagai bahasa yang tidak perlu dipelajari, (2) menganggap bahasa Inggris lebih bagus dan lebih ilmiah dibandingkan bahasa Indonesia, (3) menganggap bahasa Indonesia tidak mungkin menjadi bahasa murni dan modern (Sri Hastuti, 1993:1-4).
Tantangan lain yang muncul adalah masalah rendahnya kualitas pelaksana program. Sering ditemukan betapa sangat memprihatinkannya penggunaan bahasa Indonesia para dosen, karyawan, dan pihak-pihak terkait lainnya, terlebih lagi penguasaan bahasa Indonesia keilmuannya. Ini hambatan yang memerlukan waktu cukup lama untuk membenahinya. Dalam diri mereka masih tertanam sikap yang menganggap bahwa penguasaan terhadap bahasa Indonesia iptek bukan merupakan kebutuhan pokok yang mendesak. Sikap apatis semacam ini melanda hampir sebagian besar sivitas akademika perguruan tinggi.
Apabila program pengembangan bahasa Indonesia iptek tersebut dapat direkayasa dalam bentuk program yang terencana oleh suatu lembaga pendidikan tinggi, masalah yang mungkin dihadapi paling awal adalah masalah dana operasionalnya. Hal ini mengingat kondisi objektif perguruan tinggi di Indonesia akhir-akhir ini, yang untuk melaksanakan program-program intinya saja masih kekurangan dana. Alokasi dana yang tersedia sebagian besar masih diprioritaskan bagi pengadaan dan perbaikan sarana-sarana fisik, seperti perbaikan gedung, pengadaan peralatan laboratorium, komputer, dan sebagainya. Dengan demikian, harus disadari jika program pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi (jika ada) tidak mendapatkan prioritas yang utama dibandingkan program-program akademik lainnya.

C.    SIMPULAN

     Untuk menyelaraskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, bahasa Indonesia harus dikembangkan agar relevan dengan perkembangan iptek tersebut. Dalam rangka itu, lembaga pendidikan tinggi dipandang sebagai tempat yang strategis untuk mengembangkan bahasa Indonesia iptek itu. Hal ini dimungkinkan karena perguruan tinggi memiliki kesempatan yang lebih besar dalam mengkaji, merekayasa, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dibandingkan dengan lingkungan yang lain.
Pada satu sisi, program pengembangan bahasa Indonesia iptek akan sangat menguntungkan bagi kalangan perguruan tinggii, karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan akan media ekspresi keilmuan yang beraneka ragam macamnya. Pada sisi yang lain, pelaksanaan program ini dipandang sebagai salah satu bentuk kepedulian dan partisipasi perguruan tinggi dalam ikut serta memikirkan masalah-masalah nasional.
Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu disusun strategi yang cocok, sistematis, dan diusahakan tidak memerlukan biaya yang besar. Keberhasilan pelaksanaan strategi yang dimaksud ditentukan oleh 3 hal, yaitu faktor perencanaan program, pelaksana program, dan faktor pelaksanaannya.
Program yang disusun hendaknya dirancang secara sistematis dengan mempertimbangkan faktor kemungkinannya untuk diterapkan serta memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang sudah tersedia. Program itu juga harus merupakan bagian yang takterpisahkan dari rencana induk pengembangan perguruan tinggi secara keseluruhan.
Dalam pelaksanaannya, pengembangan bahasa Indonesia iptek dapat mempergunakan sarana-sarana pengembangan yang tersedia, yaitu melalui proses belajar mengajar, penerjemahan dan pembentukan istilah keilmuan, lomba penulisan karya ilmiah, penerbitan artikel-artikel yang relevan, seminar, penataran, dan kegiatan-kegiatan khusus lainnya. Khusus dalam proses belajar mengajar, pelaksanaan program ini dapat diimplementasikan melalui proses perkuliahan secara rutin pada semua fakultas/program studi, melalui MKDU Bahasa Indonesia, dan melalui proses belajar mengajar pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia (jika ada). Pelaksana program yang dibutuhkan dapat berasal dari unsur dosen, karyawan, maupun dari unsur mahasiswa, yang pemilihannya ditentukan berdasarkan sikap dan komitmen mereka terhadap program pengembangan bahasa Indonesia iptek. Program-program tersebut harus dilaksanakan dengan menggunakan prinsip integral, terpadu, dan kontinu.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, faktor-faktor yang dimungkinkan dapat menghambat pelaksanaan program harus diantisipasi dan dikendalikan sejak diini. Kendala-kendala yang muncul, misalnya dapat berbentuk lingkungan yang tidak mendukung, sikap objek sasaran program yang kurang posisitf, fasilitas yang tidak memadai, kualitas pelaksana program yang rendah, dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA


Amran Halim (ed). 1989. Politik Bahasa Nasional I. Jakarta: Pusbinbangsa.

_______. 1989. Politik Bahasa Nasional II. Jakarta: Pusbinbangsa.

Anton M. Moeliono. 1991. Ancangan Alternatif dalam Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jakarta: Jambatan.

_______. 1989. Kembara Bahasa. Jakarta: Gramedia.

_______. 1993. “Menyongsong Aneka Fungsi Bahasa Indonesia dengan Perencanaan Bahasa”, Makalah Seminar Nasional di IKIP Surabaya, 23 Oktober 1993.

Daud H. Soesilo. 1990. “Aneka Pendekatan di dalam Penerjemahan: Sebuah Tinjauan”, PELBA 3. Jakarta: Unika Atmajaya.

Harimurti Kridalaksana. 1992. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah.

Herman J. Waluyo. 1991. Penalaran Bahasa. Surakarta: UNS.

_______. 1991. “Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Karya Ilmiah”, Makalah Seminar Bulan Bahasa IKIP PGRI Madiun, 09 November 1991.

Jazir Burhan. 1981. Problema Bahasa dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Bandung: Ganaco.

Jujun S. Suriasumantri. 1995. Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harapan.

Robinson, Pauline C. 1984. English for Spesifics Pusposes. New York: Pergamon Press.

Soewito. 1991. Sosiolinguistik. Surakarta: UNS.

Sri Hastuti. 1993. Permasalahan dalam Bahasa Indonesia. Yogjakarta: Intan.

Zuchridin Suryawinata. 1995. Bahasa, Pengajaran Bahasa, dan Penerjemahan. Malang: P-5 PT IKIP Malang.








































PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA IPTEK  DI  PERGURUAN TINGGI

MELALUI  PROSES  BELAJAR MENGAJAR, TERJEMAHAN DAN PEMBENTUKAN  ISTILAH  KEILMUAN

 







Oleh
Drs. Bambang Eko Hari Cahyono








PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI IKIP PGRI MADIUN
November 2006


Subscribe to get more videos :