Duniaku - Seorang wanita yang
baru saja meninggal ternyata merindukan kehidupan yang baru saja
ditinggalkannya. Ia berharap bisa ”mengunjungi” kembali salah satu hari yang
”tidak penting” yang pernah terjadi dalam hidupnya. Ketika harapannya
dikabulkan, ia menyadari betapa selama ini ia menjalani hidupnya tanpa rasa
syukur, seakan-akan semua itu sudah selayaknya menjadi miliknya.
Akhirnya kunjungannya
itu menjadi beban berat yang tak tertanggungkan olehnya. ”Saya tidak
menyadari,” katanya dengan penuh sesal, ”Semua yang terjadi tak pernah kita
sadari benar. Selamat tinggal, rumahku. Suami dan putri kesayanganku…. Ibu dan
ayah…. Selamat tinggal detak jam dinding dan bunga-bunga yang indah di
pekarangan. Dan makanan dan kopi. Dan baju-baju yang baru diseterika dan air mandi hangat …. dan saat-saat
tidur dan terjaga. Oh hidup, kau terlalu mengagumkan hingga orang tak menyadari
betapa mengagumkannya engkau.”
Itulah salah satu
adegan yang cukup menyentuh sanubari dalam sebuah drama karyaThornton Wilder – seorang pengarang Amerika — berjudul Our Town. Wilder nampaknya
ingin mengingatkan kita untuk senantiasa menikmati hari dengan penuh rasa
syukur. Setiap hari sebetulnya adalah istimewa. Sayang, kita sering tak
menyadarinya karena ”mata” kita tertutup.
Nah, situasi seperti
ini – yang menjebak – telah diingatkan oleh Allah dalam ayat-ayatnya. Agar kita
bisa menyibak setiap hari kita dengan kesyukuran, Allah memerintahkan
menggandeng syukur tersebut dengan kesabaran. Allah berfirman : Sesungguhnya di dalam yang
demikian itu niscaya menjadi ayat bagi tiap-tiap orang yang sabar lagi
bersyukur. (Surat Ibrohim ayat
5, Surat Luqman ayat 31 dan Surat Saba’ ayat 19). Bagaimana cara kita
bersabar dalam bersyukur itu?
Dalam hidup ini kita
seringkali tak dapat menemukan hal-hal yang patut disyukuri karena kita sering
merasa bahwa sesuatu itu sudah semestinya terjadi. Sudah biasa. Kulino.
Padahal, segala sesuatu tidak terjadi begitu saja. Semuanya karena rahmat Allah
Yang Esa. Mungkin kita tidak merasa mendapatkan hal istimewa pada suatu hari.
Tapi, bukankah hari itu kita dan seluruh anggota keluarga sampai di rumah
dengan selamat? Bukankah kita masih bisa menikmati makanan yang lezat? Bukankah
jantung kita masih terus berdetak, nafas kita pun tak pernah berhenti? Bukankah
kita masih dapat melihat, mendengar, berjalan, dan bekerja?
Dan jika kamu menghitung-hitung
nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS AN-Nahl:18)
Dan Dia telah memberikan kepadamu
(keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu
menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya
manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS Ibrahim: 34)
Hal-hal yang tersebut
di atas seringkali kita anggap sebagai sesuatu yang remeh, dan terjadi begitu
saja. Given. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Coba Anda saksikan acara ”Oprah Winfrey
Show” yang disiarkan salah satu televisi swasta, atau acara Tali Kasih yang
dipandu Dewi Hughes beberapa waktu yang lalu. Anda akan sadar, bahkan mungkin
sambil meneteskan air mata menyaksikan betapa banyaknya orang yang tak dapat
menikmati hal-hal yang kita anggap remeh tadi. Menyaksikan acara-acara seperti
ini akan membuka mata hati kita akan betapa banyaknya rahmat yang sering kita
lupakan dalam hidup ini. Sungguh sangat disayangkan. Simaklah kisah pendek sufi
berikut untuk meningkatkan kesyukuran kita. Pada suatu hari Syaqiq
al-Balkhi bertanya kepada Ibrahim bin Adham.
Syaqiq bertanya,
”Bagaimana model kehidupan Anda?”
Ibrahim menjawab, ”Jika kami memperoleh rezeki kami bersyukur, jika tidak maka kami bersabar.”
”Itu sama halnya dengan kebiasaan anjing-anjing di Khurosan,” timpal Syaqiq.
Ibrahim terhenyak dan kemudian bertanya, ”Memangnya bagaimana model kehidupan Anda?”
Syaqiq menjawab, ”Jika kami mendapat rezeki, maka kami dermakan, jika tidak maka kami bersyukur.”
Ibrahim menjawab, ”Jika kami memperoleh rezeki kami bersyukur, jika tidak maka kami bersabar.”
”Itu sama halnya dengan kebiasaan anjing-anjing di Khurosan,” timpal Syaqiq.
Ibrahim terhenyak dan kemudian bertanya, ”Memangnya bagaimana model kehidupan Anda?”
Syaqiq menjawab, ”Jika kami mendapat rezeki, maka kami dermakan, jika tidak maka kami bersyukur.”
Nah, sabar dalam
bersyukur mengajak kita menikmati setiap detik dari kehidupan ini sebagai
sesuatu yang indah. Setiap keadaan yang kita jumpai adalah anugerah dari Yang
Kuasa. Sebagai belas kasih dan rahmat yang tak terhingga. Sabar dalam bersyukur
tidak harus menunggu kabar baik saja untuk memulai dan ingat untuk bersyukur.
Tapi dalam keadaan biasa, tanpa kabar baik maupun kabar buruk tetap pol
syukurnya. Sebab sabar meniti setiap detik sebagai nikmat yang tidak semua
orang menjumpainya. Sabar dalam bersyukur mampu mengubah yang biasa menjadi
luar biasa.
Falsafah Jawa mengenal
istilah ”Masih untung.” Ini sebuah cara pandang yang sangat spiritual.
Paradigma ”Masih untung” ini bukanlah sekadar untuk menghibur dan
menyenang-nyenangkan diri. Sikap ini didasari oleh keyakinan mendalam bahwa
Tuhan senantiasa melindungi kita. Bahwa rahmat selalu ada di sekitar kita
betapa pun kecilnya. Ini akan mengubah penolakan menjadi penerimaan, kekacauan
menjadi keteraturan, dan kekeruhan menjadi kejernihan. Lebih dari itu hidup
kita akan senantiasa diliputi perasaan penuh. Apapun yang sudah kita miliki
menjadi cukup, bahkan berlebih. Itu tak lain adalah sebuah sikap bersyukur.
Buah dari kesyukuran ketika kita telah dapat menerapkan sabar dalam bersyukur
dalam diri kita. Ketika itu kita akan menemukan arti sesungguhnya dari dalil
lain syakartum la-aziidannakum.